Sabtu, 02 Juli 2011

Carut marut sistem pendidikan pelayaran di Indonesia

Posted on 07.50 by Sailor

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan atau sering disebut negara maritim terbesar di dunia yang dipersatukan dengan perairan. Oleh karena itu peranan perhubungan laut khususnya angkutan laut dan kepelabuhanan serta lingkungan maritim memegang peranan penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.


Saat ini untuk menjadi perwira pelayaran (Pelaut), seseorang harus memiliki ijazah-ijazah yang diperlukan, hal ini menyebabkan tumbuhnya sekolah-sekolah pelayaran mulai dari tingkat SLTA sampai ke perguruan tinggi. Yang mana dengan Tingkatan sebagai berikut : lulusan SLTP dapat melanjutkan ke Sekolah Kejuruan Pelayaran (Setarap SLTA) dengan Sistim Pendidikan 3 Tahun Belajar teori 1 tahun Praktek Berlayar (PROLA) yang mana lulusan dari SKP ini mendapatkan IJasah setara SLTA dan ANT-IV dan lulusan SMA dapat melanjutka ke tingkat akademi untuk mendapatkan ijasah ANT-III.

Di Indonesia saat ini ada lebih dari 100 lembaga pendidikan pelaut, baik berupa perguruan tinggi, sekolah menengah, maupun kursus-kursus, akan tetapi dari sejumlah lembaga pendidikan pelaut tersebut, tidak semuanya memiliki standar kualitas yang memadai. Hal ini apabila diteruskan akibatnya para lulusan dari lembaga pendidikan tersebut tidak memenuhi syarat keahlian pelaut. Standar kualitas lembaga pendidikan latihan kepelautan antara lain:
  1. Memiliki misi yang sepakat mengikuti persyaratan aturan STCW 95 dan Nasional.
  2. Berbadan Hukum Indonesia
  3. Mendapat pengakuan standar manajemen mutu seperti ISO 9002:2000, SNI 19 19002, QMET (Quality Maritime Education Training), atau model lainnya yang disetujui Institusi Standarisasi Nasional.
  4. Kurikulum yang diterapkan sesuai dengan yang ditetapkan Badan Diklat Perhubungan Laut
  5. Staf pengajar/instruktur yang dimiliki sedikitnya 3 orang untuk materi profesi, yang terdiri 2 senior dan 1 orang asisten, dan untuk materi umum minimal 2 orang.
  6. Latar belakang pendidikan staf pengajar minimal S1 dan D IV untuk mata kuliah umum, dan untuk mata kuliah profesi ditambah pengalaman sebagai perwira di kapal minimal 3000 GT.
  7. Memiliki kampus yang dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif yang terdiri dari:
  • Ruang kelas yang mampu memuat maksimal 30 taruna
  • Memiliki fasilitas laboratorium praktek bagi taruna
  • Harus memiliki sebuah perpustakaan dengan tenaga pustakawan yang professional, buku-buku yang memadai terutama di bidang kelautan.
  • Dan memiliki fasilitas internet
Untuk meningkatkan mutu pendidikan tenaga pelaut Indonesia maka di upayakan adanya peningkatan terhadap lembaga pendidikan kepelautan. Dan sebagai realisasinya pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 18 Tahun 1997,yang mengatur tentang sistem pendidikan para pelaut, ujian negara dan pesertifikatannya. Sebagai implementasi dari Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 18 Tahun 1997, Badan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Departemen Perhubungan melakukan penataan pada sejumlah lembaga pendidikan tersebut.

Menurut Kepala Badan Dephub, Purnomosidhi, untuk melakukan penataan, Badan Diklat membentuk tim yang melakukan penyeleksian terhadap sekolah dan kursus pelaut. Seleksi tersebut meliputi, sistem manajemen mutu, tenaga pengajar, prasarana diklat, laboratorium dan simulator. Purnomisidhi mengakui sejumlah sekolah yang belum mendapat rekomendasi tidak dapat langsung ditutup, sebab Badan Diklat tidak mempunyai kewenangan untuk menutup sekolah dan kursus pelaut tersebut. Bahkan terhadap sekolah dan kursus yang belum mendapat rekomendasi tersebut terus dilakukan pembinaan, sehingga dapat terus memperbaiki kualitasnya

Pemberlakuan amandemen International Covention on standard of TrainingCertification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) 1995 sebagai penyempurnaanInternational Convention on Standard of Training Certification and Watchkeeping forSeafarers (STCW) 1978, beberapa ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 7 Tahun 1991 tentang Pendidikan dan Latihan Ujian dan Perijazahan Kepelautan, perlu ditinjau kembali untuk disempurnakan. Untuk itu pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 18 Tahun 1997 yang mengatur tentang; (1) penyelenggaraan pendidikan kepelautan di Indonesia, program pendidikan kepelautan, Jenjang pendidikan kepelautan, dan kurikulum yang menitik beratkan pada pedoman keselamatan pelayaran, (2) penyelenggraan ujian negara kepelautan dan pensyaratan untuk mengikuti ujian negara. (3) penyelenggaraan sertifikasi kepelautan dan syarat untuk memperoleh sertifikat.(4) kewenangan jabatan diatas, dan (5) penyertaan sertifikat kepelautan

Mengenai penyelenggaraan Ujian Negara, kendala yang timbul sebagian besar dihadapi oleh para taruna terutama yang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan kepelautan swasta. Kendala yang pertama yang dihadapi para taruna tersebut dalam mengikuti ujian negara adalah masalah biaya. Bagi taruna yang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan swasta harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk mengikuti ujian negara kepelautan, karena pelaksaan ujian negara belum dapat diselenggarakan di sekolah swasta maka ia harus mengikuti ujian negara di lembaga pendidikan kepelautan milik pemerintah. Sebagai contoh para taruna di Akademi Maritim Yogyakarta harus mengikuti ujian negara di lembaga pendidikan kepelautan milik pemerintah yang ada di Semarang. Yang kedua adalah lamanya waktu penyelanggaraan ujian negara sehingga para taruna harus menunggu dan mengeluarkan biaya operasional yang tinggi. Sedangkan kendala yang dihadapi dalam Sertifikasi Kepelautan adalah panjangnya birokrasi, serta lamanya proses keluarnya sertifikat sehingga membuat para taruna merasa enggan untuk mengurus sertifikat tersebut. Sedangkan bagi setiap pelaut harus memiliki sertifikat untuk bisa diakui sebagai pelaut professional dan bisa bekerja di perusahaan- perusahaan pelayaran yang membutuhkan.

Kebutuhan pelaut yang semakin meningkat dalam dunia pelayaran akhir-akhir ini menuntut pemerintah untuk lebih bijaksana dalam menentukan kebijakan dalam kaitannya dengan kepelautan, mulai dari sistem pendidikan para pelaut, ujian negara dan persertifikatannya sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 18 Tahun 1997, sebagaimana perkembangan lulusan pelaut pada tabel berikut :

Tabel 1.1

Produksi Pelaut Indonesia

(ANT III/ATT III) 5 tahun terakhir

Lembaga diklat

Tahun

Rata/rata/th

2005

2006

2007

2008

2009

Lemdik pemerintah

466

606

663

645

714

618,8

Lemdik swasta

940

843

826

685

561

731

Total

1406

1449

1289

1330

1275

1350

Sumber : Diktat Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Pelaut Indonesia disusun oleh KAPUSDIKLAT HUBLA


Dalam Bisnis Indonesia Jakarta, Pengusaha pelayaran mengungkapkan Indonesia kekurangan pelaut sebanyak 25.000 orang dalam kurun waktu 5 tahun terakhir seiring dengan tingginya pertumbuhan jumlah armada pelayaran berbendera Merah Putih. Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Indonesian National Shipowners Association (INSA) Johnson W. Sutjipto mengatakan kebutuhan pelaut nasional sangat besar sejak penerapan asas cabotage yang mengharuskan angkutan domestik menggunakan kapal berbendera Merah Putih dan diawaki oleh warga negara Indonesia. Pertumbuhan permintaan tidak sebanding dengan lulusan yang dicetak oleh sejumlah akademi maritim di Indonesia sehingga kebutuhan pelaut di tanah Air tidak terpenuhi. Berdasarkan data INSA, sejak 2005 hingga sekarang telah terjadi penambahan jumlah kapal niaga nasional sebanyak 2.700 unit atau 50,04%, dengan rata-rata kebutuhan pelaut mencapai 10 orang per armada, atau secara nasional membutuhkan 27.000 pelaut. Adapun, Akademi Pelayaran di Indonesia selama ini hanya mampu mencetak sekitar 2.000 pelaut per tahun sehingga terjadi kekurangan sedikitnya 25.000 orang selama 2005-2009. Ketua Bidang Angkutan Cair DPP INSA Widihardja Tanudjaja menambahkan proses regenerasi terhadap 135.000 pelaut Indonesia terancam gagal karena minimnya minat masyarakat menempuh jalur pendidikan pelayaran. Dia menjelaskan jumlah sekolah pelayaran pemerintah yang terdaftar hanya tujuh unit dengan kemampuan meluluskan pelaut paling banyak 200 orang per sekolah. Menurut dia, 50% dari lulusan itu adalah perwira dan sisanya ABK, sedangkan usia berlayar seorang pelaut berkisar 30-35 tahun. Masalahnya, dengan kapasitas sekolah pemerintah, termasuk satu di antaranya milik Pertamina, apakah mampu menggantikan 135.000 pelaut yang aktif saat ini dalam beberapa tahun ke depan.
Sumber kompas.com juga menyebutkan bahwa kebutuhan perwira pelayaran di Indonesia mencapai 400 orang per tahun, sementara kebutuhan dunia mencapai 4.000 orang perwira. Saat ini sudah banyak perusahaan-perusahaan pelayaran asing yang membiayai pendidikan para calon perwira pelaut meskipun mereka masih duduk di bangku kuliah, untuk nantinya langsung bisa ditempatkan di kapal-kapal milik mereka. Sistem ini mereka terapkan untuk mengantisipasi kebutuhan perwira pelaut yang semakin hari semakin meningkat dan tidak sebanding dengan jumlah lulusan yang ada. (http://nasional.kompas.com/read/2008/04/16/11135355/pelayaran-indonesia).

Data Departemen Perhubungan (Dephub) RI menyebutkan, permintaan tenaga pelaut baik perwira atau rating akan terus meningkat. Saat ini, permintaan tenaga pelaut dunia mencapai 1.103 juta orang, masing-masing perwira 190.762 orang dan rating 913.408 orang. Jumlah tersebut akan terus meningkat sesuai dinamika bisnis global yang terus berkembang. Sementara, kemampuan menyediakan tenaga pelaut profesional dunia masih kurang. Tahun 2000 silam, dunia kekurangan tenaga perwira pelaut sebanyak 16.000 orang atau 4 persen dari kebutuhan dunia. Jumlah tersebut akan terus meningkat menjadi 46.000 orang perwira pada tahun ini. Jumlah itulah yang harus dijawab oleh dunia pendidikan tenaga pelaut, termasuk sekolah-sekolah pelayaran di Indonesia. Permintaan perwira pelaut dunia mencapai 4.000 orang setahun. Sedang Indonesia berencana untuk mendidik 400 perwira pelaut unggulan buat memenuhi kebutuhan domestik dan dunia. Pemerintah hanya menyediakan dana buat fasilitas pendidikan calon perwira pelaut. Sedangkan biaya pendidikan pelaut dibebankan kepada pihak yang bersangkutan atau perusahaan pelayaran yang membutuhkan. Biaya mahasiswa itu sebaiknya dibebankan kepada perusahaan pelayaran atau pihak lain yang membutuhkan. Sedang besaran biaya yang dibutuhkan mencapai kisaran 10.000-15.000 Dolar AS per orang Sehingga diperlukan jalan keluar baru untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam hal ini diperlukan kerjasama yang harmonis antara instansi pemerintah terkait, lembaga pendidikan pelayaran dan perusahaan pelayaran itu sendiri. (http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=Berita Utama&topic=88id=1642).

Dalam bentuk tabel dapat dilihat untuk kebutuhan pelaut dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2015 sebagai berikut :

Tabel 1.2

Kebutuhan Pelaut Dilihat Secara Internasional

Kebutuhan pada tahun

Kebutuhan Pelaut

Lulusan

Sumber data

1995

387.000

369.000

BIMCO/ISF 2000 study by The University of Warwick

2000

420.000

404.000

BIMCO/ISF 2000 study by The University of Warwick

2005

466.000

419.000

BIMCO/ISF 2000 study by The University of Warwick

2010

481.000

435.000

BIMCO/ISF 2000 study by The University of Warwick

2015

514.000

443.000

BIMCO/ISF 2000 study by The University of Warwick

Dari beberapa uraian di atas maka diperlukan kearifan pemerintah dalam mengambil kebijakan kaitannya dengan pendidikan, ujian negara dan sertifikasi kepelautan agar bisa lebih efektif dan efisien .


Experience is the best of teacher ( pengalaman adalah guru terbaik ). Itulah pepatah orang bijak. Indonesia memiliki segudang kekayaan pengalaman dalam mengarungi samudera kehidupan di negeri tercinta ini. Khususnya dalam bidang pendidikan Indonesia memiliki segudang kekayaan pengalaman dalam membuat dan menetapkan sistem pendidikan yang ideal, sistem dan struktur pendidikan pelakut yang baik, Tak kekurangan bahkan atau terlalu “makan asam garam” kita dalam membuat serta menetapkan kebijakan menuju sistem pendidikan yang ideal tersebut. Tetapi ironisnya bukannya bertambah baik tetapi malah carut marut. Inilah realita pendidikan di Indonesia yang ada sekarang ini, bahkan bukan hanya di sektor pendidikan tetapi hampir di semua sektor kehidupan. Salah satu penyebabnya mungkin terlalu seringnya kebijakan yang parsial dengan diistilahkan ganti menteri ganti kebijakan. Pendidikan bukan sesuatu kebutuhan sesaat tetapi merupakan investasi yang harus dijaga keeksistensiannya. Kualitas SDM suatu negara bisa dilihat dari pendidikannya. Pendidikan adalah proses penyadaran untuk menjadikan manusia sebagai “manusia”. Tetapi pendidikan di Indonesia bak menanam jagung atau padi yang setiap 3 atau 6 bulan sekali diganti metode penanamannya. Sungguh ironis sekali. Bagaimana akan melahirkan sistem pendidikan yang baik dan mampu mengurangi pengangguran dan memenuhi kebutuhan pelaut di dalam negeri apabila setiap kebijakan yang ditetapkan dipermainkan oleh pihak berwenang yang tak pernah berpihak terhadap peserta didik.

No Response to "Carut marut sistem pendidikan pelayaran di Indonesia"

Leave A Reply